Laman

Jumat, 23 November 2012

Toriqot As Syadzili



2.1  Riwayat Toriqot Asy-Syadzili
Abu al-Hasan al-Syadzili adalah salah satu tokoh sufi besar Maroko, pewaris ajaran tasawuf Sunni. Tarikat Syadziliyyah dinisbatkan kepada Abu Hassan Syadzili, yang berasal dari Syadzilah Tunisia, dan dari sana pula bersama muridnya pergi ke Mesir lalu tinggal di kota Iskandariah sekitar tahun 642 H. Setelah beliau meninggal, ajaran Tariqat diteruskan oleh al-Mursi dan Ibnu Atho’llah. 
Secara genealogis, dari pihak ayah, al-Syadzili berasal dari keturunan darah biru (mulia). Rantai keturunannya dapat dipertemukan dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra.
Tasawuf Abu Hassan Syadzili, al-Mursi dan Ibnu Atho’illah sebagai tokoh-tokoh tariqot Syadziliyyah, mereka lebih dekat dengan tasawuf al-Ghozali yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits.
Ibnu Atho’illah dalam karyanya Latho’if al-Minan, mengungkapkan, bahwa Abu Hassan Syadzili berkata kepada murid-muridnya, “Seandainya kalian mengajukan suatu permohonan kepada Allah, sampaikanlah itu lewat Imam Abu Hamid al-Ghozali.”  Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, mewarisi anda ilmu, Sementara karya al-Makki, Qutb al-Qulub, mewarisi anda Cahaya.” Mengenai al-Ghozali, Abu Abbas al-Mursi ber kata, “Aku bersaksi bahwa dia adalah orang benar yang besar.”
2.2  Ajaran Pokok Tariqot Asy-Syadzili
Pokok ajaran Tariqot al-Syadziliyyah ada lima, yaitu :
1.  Ketaqwaan kepada Allah, baik diketahui atau tidak diketahui orang;
2.  Konsisten mengikuti sunnah, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan;
3.  Penghormatan terhadap makhluk, baik diketahui atau tidak diketahui orang;
4.  Ridho kepada Allah, baik kecukupan atau kekurangan;
5.  Kembali kepada Allah, baik dalam senang maupun susah.
Ibnu Atho’illah al-Syakandari yang menyusun ajaran-ajaran Tariqot al Syadziliiyah berupa pesan-pesan, do’a, biografi Abu Hassan Syadzili dan al-Mursi, aturan-aturan toriqot mereka serta prinsip-prinsipnya.
2.3  Kitab yang Jadi Sumber Ajaran Toriqot Asy-Syadzili
Di samping menerima pelajaran-pelajaran dari para gurunya, al-Syadzili juga banyak mempelajari kitab-kitab tasawuf yang dijadikan sumber pemikiran taswufnya. Di antara kitab-kitab tasawuf yang dikuasai al-Syadzili juga dikuasai  oleh muridnya, al-Mursi adalah kitab Khatam al-Auliya oleh al-Hakim al-Tarmidzi  dan kitab al-Mawaqif karya Syekh Muhammad Abd al-Jabbar al-Niffari. Selain itu, ada beberapa kitab tasawuf yang dijadikan al-Syadzili sebagai sumber ajaran-ajaran tasawufnya, termasuk kedua kitab yang telah disebutkan di atas, ketujuh kitab tersebut adalah:
a.    Khatam al-Auliya, karya al-Hakim al-Tarmidzi. Kitab ini memuat berbagai masalah, di antaranya adalah masalah kewalian dan kenabian.
b.    al-Mawaqif wa al-Mukhatabah, karya Syekh Muhammad Abd al-Jabbar. Kitab ini memuat pengertian-pengertian yang tinggi dan khusus bagi mereka yang memiliki dzauq tasawuf. Diceritakan, kitab ini adalah pemberian Tuhan ketika pengarangnya tengah berkhalwat dan sedang berdialog dengan Tuhan, dan dari dialog ini akhirnya melahirkan ajaran tasawuf.
c.    Quth al-Qulub, karya Abu Thalib al-Makky. Kitab ini ditulis menurut acuan syara dengan uraian dan pandangan sufi, sehingga syariat dan hakikat sejalan dan bersatu.
d.    Ihya Ulum al-Din, karya Imam al-Ghazali. Kitab ini merupakan pengembangan dari ketiga kitab di atas. Al-Syadzili mengatakan, bahwa kitab ini mewariskan kepada kita dengan segudang ilmu. Sedang Quth al-Qulub mewariskan cahaya yang terang-benerang.
e.   al-Syifa, karya Qadli Iyadh. Kitab ini dipakai al-Syadzili untuk mengambil berkah dan menjadi sumber syarah dengan melihat tasawuf dari sudut pandang fiqh.
f.  Risalat al-Qusyairiyah, karya Imam al-Qusyairi. Al-Syadzili mempelajarinya sebagai kitab permulaan dalam perjalanan tasawufnya.
g.   al-Muharrar al-Wajiz, karya Ibnu Athiyah. Kitab ini merupakan salah satu sisi dari pengajian dalam rangka melengkapi pengetahuan, dan disyarahi oleh al-Syadzili.
Demikian kitab-kitab yang dipelajari al-Syadzili, sehingga sangat berpengaruh pada pemikiran dan gerakan tasawufnya. Mengingat kitab-kitab tersebut adalah karya-karya ulama sufi Sunni, maka secara genealogis, tasawuf yang diajarkan dan dikembangkan al-Syadzili adalah tasawuf Sunni
2.4  Aspek Pemikiran Tasawuf Asy-Syadzili
Aspek-aspek pemikiran tasawuf al-Syadzili dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    al-Syadzili membasmi pertapaan dan melarang para pengikutnya untuk meninggalkan profesi dunia. Dalam pandangannya, pakaian, makanan dan kendaraan yang layak dalam kehidupan sederhana, bisa menumbuhkan rasa syukur, mengenal nikmat Ilahi dan tidak berlebih-lebihan meninggalkan dunia. Meninggalkan dunia secara berlebihan akan menghilangkan arti syukur atas nikmat; dan sebaliknya, memanfaatkan dunia secara lebih akan membawa kepada kedzaliman. Manusia harus memanfaatkan semua nikmat yang diberikan Allah dengan sederhana dan sebaik-baiknya, sesuai dengan bimbingan Allah dan rasul-Nya (Mansur, 1996: 204).
2.  Sebagaimana al-Ghazali, al-Syadzili adalah tipe seorang sufi yang tidak mengabaikan syariat. berkali-kali ia menegaskan bahwa seorang yang ingin memperdalam ilmu tasawuf, maka ia terlebih dahulu harus memperdalam ilmu syariat (Mansur, 1996: 204). Penegasan ini dijadikan salah satu aturan dalam Toriqot Syadziliyah. Yang dimaksud dengan tasawuf di sini ialah latihan-latihan jiwa dalam rangka beribadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan-ketentuan Ilahi. Dengan pengertian tersebut, tasawuf mengandung empat aspek penting yang terdiri dari: a) berakhlak dengan akhlak Allah; b) senantiasa melaksanakan perintah-perintah Allah; c) menguasai hawa nafsu dan selalu malu kepada Allah; dan d) berketetapan dan berkekalan dengan Allah secara sungguh-sungguh (al-Sabbagh, 1993: 107).
3.   Bagi al-Syadzili, jalan yang harus menjadi pegangan seorang sufi menuju Tuhan, ada empat hal. Apabila seorang sufi dapat menjalani (menyelesaikan) keempat hal tersebut, berarti ia telah mengetahui tasawuf dengan benar dalam pengetahuan yang hakiki (shiddiqin, muhaqqin). Namun apabila ia hanya menjalani tiga hal, ia termasuk seorang wali Tuhan. Sedangkan bila ia hanya menyelesaikan dua hal, ia termasuk seorang syahid. Akan tetapi, bila ia hanya sanggup menjalankan satu hal, ia dikategorikan sebagai orang yang melayani Tuhan dengan penuh keikhlasan. Keempat hal tersebut ialah: a) dzikir. Fondasinya adalah perbuatan-perbuatan yang benar, buahnya (hasilnya) adalah illuminasi; b) meditasi (tafakkur). Landasannya adalah ketekunan, buahnya adalah pengetahuan; c) kefakiran. Landasannya adalah rasa syukur, buahnya adalah meningkatkan rasa syukur; dan d) cinta (hubb). Pangkatnya adalah tidak mencintai dunia dan isinya, buahnya adalah persatuan dengan penuh rasa cinta (al-Sabbagh, 1993: 109).
4.   Menurut al-Syadzili, ada beberapa cara untuk memperoleh argumentasi (dalil), dengan melihat tingkatan-tingkatannya. Dalil dapat diperoleh melalui akal (intellect), ini dimiliki oleh para ulama; dalil dapat juga diperoleh melalui anugerah Ilahiyah (karamah), ini dimiliki oleh orang-orang suci (para wali); dan dalil juga dapat diperoleh melalui jiwa yang dalam (sirr), ini dimiliki oleh para Nabi dan orang-orang yang sangat ikhlas (shiddiqun).
5.  Berkaiatan dengan marifat (mystical knowledge), al-Syadzili sependapat dengan para filosof, bahwa marifat datang dari Tuhan dengan melalui dua cara: a) dengan melalui sumber kemurahan (ain al-jud), dengan merujuk kepada orang-orang yang diberi anugerah Ilahiyah (karamah) oleh Tuhan. Dengan karamah Tuhan, seseorang akan mencapai ketaatan kepada Tuhan; dan b) dengan cara mengerahkan usaha, seseorang akan mendapatkan karamah.
6.  al-Syadzili juga menjelaskan istilah-istilah kunci dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, seperti keyakinan, hakikat, marifat, dan lain-lain. Menurutnya, yang disebut keyakinan (yaqin), adalah sesuatu yang meliputi pengertian tentang realitas-realitas Ilahiyah (haqaiq) tanpa ragu dan tanpa adanya sesuatu penghalang (hijab). Marifat adalah penyingkapan tentang pengetahuan yang terselubung, ketika tirainya terbuka, tentu kita dapat memanggilnya. Seseorang yang telah mengakses (memasuki) hakikat, ia digambarkan bahwa dirinya laksana dalam keterpesonaan. Sedang orang yang telah mencapai marifat, ia diangkat (maslub) dari dalam dirinya sendiri. Ilmu tasawuf, menurut al-Syadzili, adalah kumpulan khazanah yang berharga; illuminasi ialah pengetahuan spiritual yang mendalam (bashair); pengetahuan mistik (tasawuf) adalah ayunan Ilahiyah (sia); keesaan (tauhid) ialah ketulusan hati (shidq); hikmah adalah pengajaran (talim); dan cahaya (nur) adalah penjelasan.
7.  Berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan, ia membaginya kepada pengetahuan yang diperoleh melalui pemeberian/pelimpahan Ilahiyah (mawahib) dan pengetahuan yang diperoleh melalui usaha (makasib). Sedang makasib dapat diperoleh melalui pengajaran (talim) dan juga dapat diperoleh melalui perenungan (nazhar).
8.  Berkaitan dengan uzlah (mengasingkan diri dari keramaian), al-Syadzili berpendapat, bahwa apabila kita berhasrat untuk mencapai kesatuan (wushul) dengan Tuhan, kita harus meminta pertolongan kepada Allah, duduk di atas permadani ketulusan (shidq), meditasi (tafakkur), dan mengingat-Nya dengan ingatan yang benar, serta mengikatkan hati kepada ibadah, agar dapat menghasilkan marifat. Kemudian langgengkan rasa syukur, perhatian atau konsentrasi penuh (muraqabah), dan taubat untuk memohon ampunan Tuhan. Dzikir (mengingat Tuhan) dengan cara apapun akan mewariskan atau menimbulkan muraqabah dengan taqwa, ketika berhenti atau menghindarkan diri dari perbuatan dosa, akan mendapatkan beberapa kebaikan dari diri kita.
9.  Bagi al-Syadzili, duduk di atas permadani keikhlasan, merupakan suatu realitas dari sifat-sifat kefakiran, kelemahan (kekurangan), ketidakmampuan, dan kerendahan hati manusia yang wujudnya adalah pengabdian (ubudiyah) kepada Tuhan sambil memperhatikan sifat-sifat kecukupan, kekuasaan, keperkasaan dan keagungan yang hanya dimiliki Tuhan semata.
Tarikat Syadziliyyah mempunyai pengaruh besar dalam dunia Islam, dan tersebar ke berbagai kawasan,  seperti ke Andalusia, dengan tokohnya Ibnu Abbad al-Runda.



Lings, Martin. Syekh Ahmad Alawy, A Sfi Saint of the Twentieth Century. London: George Allen and Unwin Ltd., 1971.
Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1979
Ibn al-Sabbagh. The Mystical Teaching of al-Syadzili, Durrat al-Asrar wa Tuhfat al-Abrar. Terj. Elmer H. Douglas. New York: State University of New York Press.
Mansur, H.M. Laily. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Srigunting, 1996.