2.1 Riwayat Toriqot Asy-Syadzili
Abu
al-Hasan al-Syadzili adalah salah satu tokoh sufi besar Maroko, pewaris ajaran
tasawuf Sunni. Tarikat Syadziliyyah dinisbatkan kepada Abu Hassan Syadzili,
yang berasal dari Syadzilah Tunisia, dan dari sana pula bersama muridnya pergi
ke Mesir lalu tinggal di kota Iskandariah sekitar tahun 642 H. Setelah beliau
meninggal, ajaran Tariqat diteruskan oleh al-Mursi dan Ibnu Atho’llah.
Secara
genealogis, dari pihak ayah, al-Syadzili berasal dari keturunan darah biru
(mulia). Rantai keturunannya dapat dipertemukan dengan Khalifah Ali bin Abi
Thalib ra.
Tasawuf
Abu Hassan Syadzili, al-Mursi dan Ibnu Atho’illah sebagai tokoh-tokoh tariqot
Syadziliyyah, mereka lebih dekat dengan tasawuf al-Ghozali yang berlandaskan
al-Qur’an dan al-Hadits.
Ibnu
Atho’illah dalam karyanya Latho’if al-Minan, mengungkapkan, bahwa Abu
Hassan Syadzili berkata kepada murid-muridnya, “Seandainya kalian mengajukan
suatu permohonan kepada Allah, sampaikanlah itu lewat Imam Abu Hamid
al-Ghozali.” Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, mewarisi anda ilmu, Sementara karya
al-Makki, Qutb al-Qulub, mewarisi anda Cahaya.” Mengenai al-Ghozali, Abu
Abbas al-Mursi ber kata, “Aku bersaksi bahwa dia adalah orang benar yang
besar.”
2.2 Ajaran
Pokok Tariqot Asy-Syadzili
Pokok ajaran
Tariqot al-Syadziliyyah ada lima, yaitu :
1. Ketaqwaan kepada Allah, baik diketahui atau
tidak diketahui orang;
2. Konsisten mengikuti sunnah, baik dengan ucapan
maupun dengan perbuatan;
3. Penghormatan terhadap makhluk, baik diketahui
atau tidak diketahui orang;
4. Ridho kepada Allah, baik kecukupan atau
kekurangan;
5. Kembali kepada Allah, baik dalam senang maupun
susah.
Ibnu
Atho’illah al-Syakandari yang menyusun ajaran-ajaran Tariqot al Syadziliiyah
berupa pesan-pesan, do’a, biografi Abu Hassan Syadzili dan al-Mursi,
aturan-aturan toriqot mereka serta prinsip-prinsipnya.
2.3 Kitab yang Jadi Sumber Ajaran Toriqot
Asy-Syadzili
Di
samping menerima pelajaran-pelajaran dari para gurunya, al-Syadzili juga banyak
mempelajari kitab-kitab tasawuf yang dijadikan sumber pemikiran taswufnya. Di
antara kitab-kitab tasawuf yang dikuasai al-Syadzili juga dikuasai oleh muridnya, al-Mursi adalah kitab Khatam
al-Auliya oleh al-Hakim al-Tarmidzi dan
kitab al-Mawaqif karya Syekh Muhammad Abd al-Jabbar al-Niffari. Selain itu, ada
beberapa kitab tasawuf yang dijadikan al-Syadzili sebagai sumber ajaran-ajaran
tasawufnya, termasuk kedua kitab yang telah disebutkan di atas, ketujuh kitab
tersebut adalah:
a.
Khatam al-Auliya, karya al-Hakim
al-Tarmidzi. Kitab ini memuat berbagai masalah, di antaranya adalah masalah
kewalian dan kenabian.
b.
al-Mawaqif wa al-Mukhatabah, karya
Syekh Muhammad Abd al-Jabbar. Kitab ini memuat pengertian-pengertian yang
tinggi dan khusus bagi mereka yang memiliki dzauq tasawuf. Diceritakan, kitab
ini adalah pemberian Tuhan ketika pengarangnya tengah berkhalwat dan sedang
berdialog dengan Tuhan, dan dari dialog ini akhirnya melahirkan ajaran tasawuf.
c.
Quth al-Qulub, karya Abu Thalib
al-Makky. Kitab ini ditulis menurut acuan syara dengan uraian dan pandangan
sufi, sehingga syariat dan hakikat sejalan dan bersatu.
d.
Ihya Ulum al-Din, karya Imam
al-Ghazali. Kitab ini merupakan pengembangan dari ketiga kitab di atas.
Al-Syadzili mengatakan, bahwa kitab ini mewariskan kepada kita dengan segudang
ilmu. Sedang Quth al-Qulub mewariskan cahaya yang terang-benerang.
e.
al-Syifa, karya Qadli Iyadh. Kitab ini
dipakai al-Syadzili untuk mengambil berkah dan menjadi sumber syarah dengan
melihat tasawuf dari sudut pandang fiqh.
f. Risalat al-Qusyairiyah, karya Imam
al-Qusyairi. Al-Syadzili mempelajarinya sebagai kitab permulaan dalam
perjalanan tasawufnya.
g.
al-Muharrar al-Wajiz, karya Ibnu
Athiyah. Kitab ini merupakan salah satu sisi dari pengajian dalam rangka
melengkapi pengetahuan, dan disyarahi oleh al-Syadzili.
Demikian kitab-kitab yang dipelajari al-Syadzili, sehingga sangat berpengaruh pada pemikiran dan gerakan tasawufnya. Mengingat kitab-kitab tersebut adalah karya-karya ulama sufi Sunni, maka secara genealogis, tasawuf yang diajarkan dan dikembangkan al-Syadzili adalah tasawuf Sunni
Demikian kitab-kitab yang dipelajari al-Syadzili, sehingga sangat berpengaruh pada pemikiran dan gerakan tasawufnya. Mengingat kitab-kitab tersebut adalah karya-karya ulama sufi Sunni, maka secara genealogis, tasawuf yang diajarkan dan dikembangkan al-Syadzili adalah tasawuf Sunni
2.4 Aspek Pemikiran Tasawuf Asy-Syadzili
Aspek-aspek
pemikiran tasawuf al-Syadzili dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
al-Syadzili membasmi pertapaan dan
melarang para pengikutnya untuk meninggalkan profesi dunia. Dalam pandangannya,
pakaian, makanan dan kendaraan yang layak dalam kehidupan sederhana, bisa
menumbuhkan rasa syukur, mengenal nikmat Ilahi dan tidak berlebih-lebihan
meninggalkan dunia. Meninggalkan dunia secara berlebihan akan menghilangkan
arti syukur atas nikmat; dan sebaliknya, memanfaatkan dunia secara lebih akan
membawa kepada kedzaliman. Manusia harus memanfaatkan semua nikmat yang
diberikan Allah dengan sederhana dan sebaik-baiknya, sesuai dengan bimbingan
Allah dan rasul-Nya (Mansur, 1996: 204).
2.
Sebagaimana al-Ghazali, al-Syadzili
adalah tipe seorang sufi yang tidak mengabaikan syariat. berkali-kali ia
menegaskan bahwa seorang yang ingin memperdalam ilmu tasawuf, maka ia terlebih
dahulu harus memperdalam ilmu syariat (Mansur, 1996: 204). Penegasan ini
dijadikan salah satu aturan dalam Toriqot Syadziliyah. Yang dimaksud dengan
tasawuf di sini ialah latihan-latihan jiwa dalam rangka beribadah dan
menempatkan diri sesuai dengan ketentuan-ketentuan Ilahi. Dengan pengertian
tersebut, tasawuf mengandung empat aspek penting yang terdiri dari: a)
berakhlak dengan akhlak Allah; b) senantiasa melaksanakan perintah-perintah
Allah; c) menguasai hawa nafsu dan selalu malu kepada Allah; dan d)
berketetapan dan berkekalan dengan Allah secara sungguh-sungguh (al-Sabbagh,
1993: 107).
3.
Bagi al-Syadzili, jalan yang harus
menjadi pegangan seorang sufi menuju Tuhan, ada empat hal. Apabila seorang sufi
dapat menjalani (menyelesaikan) keempat hal tersebut, berarti ia telah
mengetahui tasawuf dengan benar dalam pengetahuan yang hakiki (shiddiqin,
muhaqqin). Namun apabila ia hanya menjalani tiga hal, ia termasuk seorang wali
Tuhan. Sedangkan bila ia hanya menyelesaikan dua hal, ia termasuk seorang
syahid. Akan tetapi, bila ia hanya sanggup menjalankan satu hal, ia dikategorikan
sebagai orang yang melayani Tuhan dengan penuh keikhlasan. Keempat hal tersebut
ialah: a) dzikir. Fondasinya adalah perbuatan-perbuatan yang benar, buahnya
(hasilnya) adalah illuminasi; b) meditasi (tafakkur). Landasannya adalah
ketekunan, buahnya adalah pengetahuan; c) kefakiran. Landasannya adalah rasa
syukur, buahnya adalah meningkatkan rasa syukur; dan d) cinta (hubb).
Pangkatnya adalah tidak mencintai dunia dan isinya, buahnya adalah persatuan
dengan penuh rasa cinta (al-Sabbagh, 1993: 109).
4. Menurut al-Syadzili, ada beberapa cara
untuk memperoleh argumentasi (dalil), dengan melihat tingkatan-tingkatannya.
Dalil dapat diperoleh melalui akal (intellect), ini dimiliki oleh para ulama;
dalil dapat juga diperoleh melalui anugerah Ilahiyah (karamah), ini dimiliki
oleh orang-orang suci (para wali); dan dalil juga dapat diperoleh melalui jiwa
yang dalam (sirr), ini dimiliki oleh para Nabi dan orang-orang yang sangat
ikhlas (shiddiqun).
5.
Berkaiatan dengan marifat (mystical
knowledge), al-Syadzili sependapat dengan para filosof, bahwa marifat datang
dari Tuhan dengan melalui dua cara: a) dengan melalui sumber kemurahan (ain
al-jud), dengan merujuk kepada orang-orang yang diberi anugerah Ilahiyah
(karamah) oleh Tuhan. Dengan karamah Tuhan, seseorang akan mencapai ketaatan
kepada Tuhan; dan b) dengan cara mengerahkan usaha, seseorang akan mendapatkan
karamah.
6.
al-Syadzili juga menjelaskan
istilah-istilah kunci dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, seperti
keyakinan, hakikat, marifat, dan lain-lain. Menurutnya, yang disebut keyakinan
(yaqin), adalah sesuatu yang meliputi pengertian tentang realitas-realitas
Ilahiyah (haqaiq) tanpa ragu dan tanpa adanya sesuatu penghalang (hijab).
Marifat adalah penyingkapan tentang pengetahuan yang terselubung, ketika
tirainya terbuka, tentu kita dapat memanggilnya. Seseorang yang telah mengakses
(memasuki) hakikat, ia digambarkan bahwa dirinya laksana dalam keterpesonaan.
Sedang orang yang telah mencapai marifat, ia diangkat (maslub) dari dalam
dirinya sendiri. Ilmu tasawuf, menurut al-Syadzili, adalah kumpulan khazanah
yang berharga; illuminasi ialah pengetahuan spiritual yang mendalam (bashair);
pengetahuan mistik (tasawuf) adalah ayunan Ilahiyah (sia); keesaan (tauhid)
ialah ketulusan hati (shidq); hikmah adalah pengajaran (talim); dan cahaya
(nur) adalah penjelasan.
7.
Berkaitan dengan cara memperoleh
pengetahuan, ia membaginya kepada pengetahuan yang diperoleh melalui
pemeberian/pelimpahan Ilahiyah (mawahib) dan pengetahuan yang diperoleh melalui
usaha (makasib). Sedang makasib dapat diperoleh melalui pengajaran (talim) dan
juga dapat diperoleh melalui perenungan (nazhar).
8.
Berkaitan dengan uzlah (mengasingkan diri
dari keramaian), al-Syadzili berpendapat, bahwa apabila kita berhasrat untuk
mencapai kesatuan (wushul) dengan Tuhan, kita harus meminta pertolongan kepada
Allah, duduk di atas permadani ketulusan (shidq), meditasi (tafakkur), dan
mengingat-Nya dengan ingatan yang benar, serta mengikatkan hati kepada ibadah,
agar dapat menghasilkan marifat. Kemudian langgengkan rasa syukur, perhatian
atau konsentrasi penuh (muraqabah), dan taubat untuk memohon ampunan Tuhan.
Dzikir (mengingat Tuhan) dengan cara apapun akan mewariskan atau menimbulkan
muraqabah dengan taqwa, ketika berhenti atau menghindarkan diri dari perbuatan
dosa, akan mendapatkan beberapa kebaikan dari diri kita.
9.
Bagi al-Syadzili, duduk di atas
permadani keikhlasan, merupakan suatu realitas dari sifat-sifat kefakiran,
kelemahan (kekurangan), ketidakmampuan, dan kerendahan hati manusia yang
wujudnya adalah pengabdian (ubudiyah) kepada Tuhan sambil memperhatikan
sifat-sifat kecukupan, kekuasaan, keperkasaan dan keagungan yang hanya dimiliki
Tuhan semata.
Tarikat
Syadziliyyah mempunyai pengaruh besar dalam dunia Islam, dan tersebar ke
berbagai kawasan, seperti ke Andalusia, dengan tokohnya Ibnu Abbad
al-Runda.
Lings, Martin. Syekh
Ahmad Alawy, A Sfi Saint of the Twentieth Century. London: George Allen and
Unwin Ltd., 1971.
Trimingham, J. Spencer.
The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1979
Ibn al-Sabbagh. The
Mystical Teaching of al-Syadzili, Durrat al-Asrar wa Tuhfat al-Abrar. Terj.
Elmer H. Douglas. New York: State University of New York Press.
Mansur, H.M. Laily.
Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Srigunting, 1996.